The Truth Between Influencer and Omnibus Law
- Mind Entrance
- Aug 27, 2020
- 3 min read
Mind Entrance- Yotaro Octavia

Beberapa waktu terakhir Negara Indonesia dihebohkan dengan munculnya aturan yang menimbulkan banyak perdebatan yaitu, Omnibus Law. Istilah ini muncul setelah pidato pelantikan Presiden Joko Widodo pada bulan Oktober 2019 lalu. Kata omnibus sendiri berasal dari bahasa latin yakni, omnis yang berarti banyak. Secara garis besar omnibus law bersifat lintas sektor dan sering ditafsirkan sebagai UU sapujagat. Aturan ini sebenarnya lebih berperan terhadap hubungan pemerintah dengan sektor ekonomi. Pemerintah mengidentifikasikan setidaknya ada 74 UU yang terdampak dari omnibus law.
Pemerintah mencoba menyelesaikan banyaknya aturan yang tumpang tindih di Indonesia dengan omnibus law dan salah satunya adalah aturan mengenai ketenagakerjaan. Pemerintah berencana untuk memperbaiki setiap pasal yang berkaitan dengan UU Ketenagakerjaan melalui aturan ini.
Dilansir dari (alinea.id). Bukannya mendapat simpati dari masyarakat, aturan ini justru menimbulkan polemik di dunia ketenagakerjaan. Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPI) menilai bahwa omnibus law tidak mengakomodir perlindungan hak buruh. Menurut Presiden KSPI, Said Iqbal menolak pengesahan aturan ini karena tidak adanya jaminan pokok yaitu jaminan pekerjaan, jaminan pendapatan, dan jaminan sosial. Said mengatakan bahwa ada Sembilan poin yang bertentangan dengan hak buruh.
Pertama, Omnibus Law menghapus ketentuan Upah Minimum Kabupaten (UMK) dan Upah Minimum Sektoral Kabupaten (UMSK). Pada kenyataannya kedua ketentuan upah tersebut lebih dibutuhkan buruh disbanding Upah Minimum Provinsi (UMP).
Sebagai contoh, UMP Jawa Timur sebesar Rp 2 juta, sedangkan UMK Surabaya sebesar Rp 5 juta. Jika mengikuti aturan ini UMK Surabaya harus mengikuti UMP Jawa Timur dan UMP Surabaya diturunkan menjadi Rp 1,8 juta.
Kedua, tidak adanya sanksi yang diberikan kepada perusahaan yang tidak membayarkan buruh sesuai ketentuan yang berlaku. Sehingga jika pihak perusahaan tidak sepakat membayarkan upah, hal tersebut tidak menjadi masalah. Perumusan perhitungan upah minimum tidak lagi menggunakan indikator pertumbuhan ekonomi dan kenaikan harga (inflasi), melainkan hanya berdasar pada pertumbuhan ekonomi saja.
Ketiga, ketentuan pesangon dihilangkan. Ketentuan pesangon sebagai pengganti masa kerja dan penggantain hak selama buruh bekerja disuatu perusahaan ditulis dalan UU Nomor 13 tahun 2003. Sedangkan dalam Omnibus Law, penggantian hak harus disepakati oleh kedua belah pihak dihilangkan. Jadi pihak perusahaan boleh-boleh saja menolak pemberian pesangon dan tidak akan menjadi masalah.
Keempat, Omnibus Law mengesahkan pekerja outsourching dan pekerja kontrak tanpa batasan waktu dan tanpa batasan jenis pekerjaan. Dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pasal 65 disebutkan bahwa outsourching hanya untuk jenis pekerjaan penunjang seperti cleaning service, security, supir pribadi, dan jasa catering perusahaan.
Kelima, mengenai jam kerja yang eksploitatif. Jam kerja yang melebihi ketentuan yang berlaku, sehingga perusahaan bias saja mempekerjakan buruh lebih dari jam normal.
Keenam, aturan ini mengesahkan untuk mempekerjakan tenaga kerja asing dengan bebas, hal ini akan berdampak pada semakin sempitnya lapangan pekerjaan yang tersedia serta persaingan yang terjadi tidak hanya di dalam negeri, melainkan ancaman buruh dari luar negeri.
Ketujuh, mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) yang semakin dipermudah.
Kedelapan, hilangnya jaminan sosial bagi buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pension.
Kesembilan, tidak adanya batasan pekerja kontrak. Jadi buruh akan selamanya bekerja dengan status kontrak dan tidak menjadi karyawan tetap.
Ditengah penolakan yang dilakukan secara massive oleh para buruh, di dunia maya para buzzer dan influencer berlomba-lomba mempromosikan pengesahan aturan ini. Penggunaan jasa influencer dinilai cukup baik untuk perkembangan promosi suatu produk maupun hal lainnya. Influencer sebagai seseorang yang bertujuan untuk mengajak maupun menyebarkan informasi kepada orang lain secara persuasive melalui media sosial pribadinya. Sedangkan buzzer adalah sekelompok orang yang tidak jelas identitasnya dan biasanya memiliki motif ideologis maupun ekonomi di belakangnya yang kemudian menyebarkan informasi kepada masyarakat.
Berikut beberapa influencer yang ”mendukung” pengesahan ombinus law dan menghapus konten dan menyampaikan permintaan maaf dengan #Indonesiabutuhkerja yaitu, Gading Martin, Gisella Anastasia, Valentino Simanjuntak, Cita Citata, Rigen Rakelna, Boris Bokir, Aruan Marsha, Kim Kuniawan, Siti Badriah, Gritte Agatha, Ardhito Pramono, Fitri Tropica, dan masih banyak lagi.
Dikutip dari Koran Tempo, Ardhito mengaku dia dihubungi oleh Fendy Angger Alam (Humas) dan dibayar sebesar Rp 10 juta untuk setiap posting-an. Ardhito sama sekali tidak mengetahui bahwa berita yang dia sebar luaskan berhubungan dengan omnibus law. Tidak hanya Ardhito saja, deretan actor/aktris dan influencer ternama juga terseret dalam kasus yang sama. Beberapa dari mereka beralasan bahwa hal ini diperlukan untuk meningkatkan dukungan terhadap sektor pariwisata Indonesia. Hal ini membuat para influencer bebondong-bondong menghapus posting-an tersebut dan membuat klarifikasi permintaan maaf di media sosial yang mereka gunakan.
Menurut dosen Komunikasi Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Adi Prayitno, menilai penggunaan influencer untuk mendukung kebijakan ini sangatlah berbahaya karena hanya akan menimbulkan kesadaran palsu dan juga karena dukungan yang dilakukan adalah dukungan yang dimobilisir dan memanipulasi kesadaran publik.
Comments